PANTAI PANCER
Pamanku pergi begitu cepat meninggalkan kita. Sampai kami
tak percaya akan kepergiannya. Betapa sedihnya Bibi ditinggal oleh oramg yang
sangat ia sayangi. Bibi serasa kehilangan separuh jiwanya dalam kehidupannya.
100 hari setelah kepergian Paman, Bibi berencana untuk
pulang ke kampung halamannya di Banyuwangi. Bibi ingin memulai kehidupan baru
di sana. Aku seperti anak Bibi sendiri, so aku diajak kesana. Untunglah
Orangtuaku mengizinkan. Pasti Nenek senang karna tak kesepian lagi.
Saatnya pergi ke ujung Jawa Timur. Rasanya berat sekali
meninggalkan semuanya. Tapi ini sudah keputusan, aku tak mau mengecewakan Bibi,
yang selama ini telah membantu kami.
Banyuwangi terkenal akan keindahan Pantainya. Hal ini yang
membuat aku penasaran, maklumlah kebanyakan tinggal di Pegunungan. Dan Bibi
akan membuka usaha warung kecil-kecilan di Kota ini. Hitung-hitung buat
kehidupan kita ntar. Nenek senang banget akan kedatangan kami. Nenek menyuruhku
untuk jalan-jalan di pantai. Tahu aja nenek kalau aku ingin kesana.
Setelah bangun tidur aku bergegas untuk ke pantai melihat
matahari terbit di sana. Pantai tak jauh dari rumah, dengan sepeda pancal aku
pergi ke pantai. Aku duduk sambil menunggu matahari terbit. Ternyata tak hanya
aku yang menunggu matahari terbit, di seberang sana juga duduk seorang cowok
yang ngelakuin hal yang sama denganku. Ternyata indah pemandangan di sini.
Hari ini hari pertama aku dan Bibi membuka warung. Rujak
cingur, tahu telor, es campur menu yang kami jual di sini. Dengan dibantu Ratna,
kita bekerja di warung ini. Ratna adalah tetenggaku. Dia seumuran denganku.
Kita juga sama-sama habis lulus sekolah.
Mungkin masih hari pertama, so warung belum cukup ramai.
Alhamdulillah cukup buat hari esok. Aku mulai suka dengan kota ini. Aku tak menyangka
akan ada di sini. Mungkin aku akan lama di sini, coz kerjaan batu dimulai.
Waktunya matahari terbenam, kebiasaanku pun dimulai. Sudah
dua bulan ini aku ngelakuin kegiatan ini.
“Matahari selalu beredar sesuai garis edarnya. Dan dia tak
pernah keluar dari garis edarnya. Meskipun sinarnya menyengat, tapi dia
memiliki keindahan luar biasa bagi yang melihatnya”. Tiba-tiba ada suara itu ,
aku toleh dia, dia hanya tersenyum dan langsung pergi. Aku juga mengiyakan
omongannya dia tadi.
Ratna banyak bercerita tentang keindahan kota ini. Dan
ternyata Pantai yang selama ini ku kunjungi bernama Pantai Pancer. Aku baru
tahu . . . . J
Aku sangat menikmati cerita Ratna. “Eh Rahmi, kalau kota kamu gimana?”. “Kotaku
termasuk kota dingin di Jawa Timur. Dan aku tinggal di daerah Pegunungan. Bagus
pokoknya. Kapan-kapan aja kamu aku ajak ke sana”.
Malam ini bulan Purnama. Aku ingin lihat suasana Purnama di
Pantai. Aku ajak bibi ke pantai, biar tidak bosan dengan rutinitas di warung.
Dan cowok itu juga ada di Pantai. Aku heran dia itu penghuni Pantai, atau
ngelakuin hal yang sama denganku.
“Laut memberikan kehidupan pada manusia. Memberikan berkah
yang luar biasa pada manusia. Tapi, laut juga bisa membuat kesedihan pada
manusia”. Seperti biasa dia langsung pergi begitu aja.
Warga pada lari ke pantai . mereka mau mengambil ikan di
pesisir pantai. Laut lagi surut. Ku lihat juga semut pada naik ke atap rumah.
Firasatku tak enak sekali. Ku panggil Bibi dan Nenek untuk ngelihat kejadian
ini. Tiba-tiba gelombang laut naik begitu cepat. Aku bingung ada apa ini. Aku
berteriak pada warga untuk lari. Tiba-tiba ada yang menarik tanganku dan kita
lari ke bukit.Bibi dan Nenek sudah lari duluan. Gelombang laut begitu cepat ke
permukaan, banyak yang tak sempat menyelamatkan diri.
Ternyata cowok yang di pantai yang menarik tanganku. Aku
sangat berterimakasih padanya. Gelombang itu ternyata gelombang TSUNAMI. Nama
yang sangat asing di telinga kita. TSUNAMI ini yang pertama di kota ini,
bahakan di negaraku. Banyak korban akibat TSUNAMI ini. Bahkan sahabatku Ratna,
ikut jadi korban. Puji syukur, Bibi dan Nenek selamat. Kita semua sedih bahkan
tak percaya, laut yang selama ini menjadi sahabat kita, tiba-tiba menjadi musuh
dalam sekejap.
“Suwun yow mas”; ucapku pada cowok itu. Dia hanya tersenyum,
lantas pergi meninggalkanku. Aku tahu musibah ini membuat orang di sekitarku,
bahkan aku trauma untuk ke pantai. Anak-anak kecil setiap saat menangis
sekencang-kencangnya akan apa yang mereka alami. Semua sedih, keluarga mereka
banyak yamg menjadi korban, dan ada juga yang tak jelas keadaanya.
Kesedihan tak selamanya dibayar kesedihan. Di bilik lain
kulihat keceriaan. Ternyata cowok itu yang melakukan. Dia mengumpulakn
anak-anak untuk bernyanyi, bermain bersama. Kulihat saja mereka. Tapi dari
lubuk hati terdalam, Intuisiku mengajak untuk bergabung. Dan ternyata kesedihan
ini sedikit terobati. Dia memberikan
senyuman termanisnya padaku, karna mau membantu.
Waktunya menunggu matahari terbit. Aku ingin ke pantai
melihat keindahannya yang mungkin tak seindah dulu. Sesampainya di sana, tempat
yang biasa ku tempati, telah di tempati seseorang.
“Kesini juga ternyata kamu?” Tanya cowok itu.
“Iya . . .”
Akhirnya kita terlibat perbincangan
yang menarik.tentang hobbinya yang juga sama denganku. Dan musibah TSUNAMI yang
kita alami.
“Dari tadi kita ngoceh terus,
sampai belum kenalan, aku Dirga”.
“Aku Rahmi”.
Matahari telah terbit dan kita
kembali ke pengungsian.
Ternyata Dirga punya jiwa social
yang tinggi, itu terlihat saat dia jadi sukarelawan disini. Andai Ratna masih
ada disini, akan aku ceritakan tentang Dirga padanya. Lamunanku terhenti saat
Dirga juga menatap aku.
Hampir setengah tahun setelah bencana itu. Keadaan di kampung
mulai pulih. Aku dan Bibi mulai membuka usaha kembali. Kini posisi Ratna
kosong. Kita belum punya pengganti Ratna. Nelayan sudah mulai melaut lagi.
Anak-anak kecil sudah bermain di pantai seperti dulu. Laut masih menjadi
sahabat buat kita. Begitu pula dengan Dirga. Dia kini menjadi sahabatku,
mungkin lebih dari sahabat. Aku tak tahu kapan dimulainya. Tapi yang terpenting
kita saling melengkapi.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar