Pages

Senin, 07 November 2011

Pantai Pancer


PANTAI PANCER

Pamanku pergi begitu cepat meninggalkan kita. Sampai kami tak percaya akan kepergiannya. Betapa sedihnya Bibi ditinggal oleh oramg yang sangat ia sayangi. Bibi serasa kehilangan separuh jiwanya dalam kehidupannya.
100 hari setelah kepergian Paman, Bibi berencana untuk pulang ke kampung halamannya di Banyuwangi. Bibi ingin memulai kehidupan baru di sana. Aku seperti anak Bibi sendiri, so aku diajak kesana. Untunglah Orangtuaku mengizinkan. Pasti Nenek senang karna tak kesepian lagi.
Saatnya pergi ke ujung Jawa Timur. Rasanya berat sekali meninggalkan semuanya. Tapi ini sudah keputusan, aku tak mau mengecewakan Bibi, yang selama ini telah membantu kami.
Banyuwangi terkenal akan keindahan Pantainya. Hal ini yang membuat aku penasaran, maklumlah kebanyakan tinggal di Pegunungan. Dan Bibi akan membuka usaha warung kecil-kecilan di Kota ini. Hitung-hitung buat kehidupan kita ntar. Nenek senang banget akan kedatangan kami. Nenek menyuruhku untuk jalan-jalan di pantai. Tahu aja nenek kalau aku ingin kesana.
Setelah bangun tidur aku bergegas untuk ke pantai melihat matahari terbit di sana. Pantai tak jauh dari rumah, dengan sepeda pancal aku pergi ke pantai. Aku duduk sambil menunggu matahari terbit. Ternyata tak hanya aku yang menunggu matahari terbit, di seberang sana juga duduk seorang cowok yang ngelakuin hal yang sama denganku. Ternyata indah pemandangan di sini.
Hari ini hari pertama aku dan Bibi membuka warung. Rujak cingur, tahu telor, es campur menu yang kami jual di sini. Dengan dibantu Ratna, kita bekerja di warung ini. Ratna adalah tetenggaku. Dia seumuran denganku. Kita juga sama-sama habis lulus sekolah.
Mungkin masih hari pertama, so warung belum cukup ramai. Alhamdulillah cukup buat hari esok. Aku mulai suka dengan kota ini. Aku tak menyangka akan ada di sini. Mungkin aku akan lama di sini, coz kerjaan batu dimulai.
Waktunya matahari terbenam, kebiasaanku pun dimulai. Sudah dua bulan ini aku ngelakuin kegiatan ini.
“Matahari selalu beredar sesuai garis edarnya. Dan dia tak pernah keluar dari garis edarnya. Meskipun sinarnya menyengat, tapi dia memiliki keindahan luar biasa bagi yang melihatnya”. Tiba-tiba ada suara itu , aku toleh dia, dia hanya tersenyum dan langsung pergi. Aku juga mengiyakan omongannya dia tadi.
Ratna banyak bercerita tentang keindahan kota ini. Dan ternyata Pantai yang selama ini ku kunjungi bernama Pantai Pancer. Aku baru tahu . . . . J Aku sangat menikmati cerita Ratna. “Eh Rahmi, kalau kota kamu gimana?”. “Kotaku termasuk kota dingin di Jawa Timur. Dan aku tinggal di daerah Pegunungan. Bagus pokoknya. Kapan-kapan aja kamu aku ajak ke sana”.
Malam ini bulan Purnama. Aku ingin lihat suasana Purnama di Pantai. Aku ajak bibi ke pantai, biar tidak bosan dengan rutinitas di warung. Dan cowok itu juga ada di Pantai. Aku heran dia itu penghuni Pantai, atau ngelakuin hal yang sama denganku.
“Laut memberikan kehidupan pada manusia. Memberikan berkah yang luar biasa pada manusia. Tapi, laut juga bisa membuat kesedihan pada manusia”. Seperti biasa dia langsung pergi begitu aja.

Warga pada lari ke pantai . mereka mau mengambil ikan di pesisir pantai. Laut lagi surut. Ku lihat juga semut pada naik ke atap rumah. Firasatku tak enak sekali. Ku panggil Bibi dan Nenek untuk ngelihat kejadian ini. Tiba-tiba gelombang laut naik begitu cepat. Aku bingung ada apa ini. Aku berteriak pada warga untuk lari. Tiba-tiba ada yang menarik tanganku dan kita lari ke bukit.Bibi dan Nenek sudah lari duluan. Gelombang laut begitu cepat ke permukaan, banyak yang tak sempat menyelamatkan diri.  
Ternyata cowok yang di pantai yang menarik tanganku. Aku sangat berterimakasih padanya. Gelombang itu ternyata gelombang TSUNAMI. Nama yang sangat asing di telinga kita. TSUNAMI ini yang pertama di kota ini, bahakan di negaraku. Banyak korban akibat TSUNAMI ini. Bahkan sahabatku Ratna, ikut jadi korban. Puji syukur, Bibi dan Nenek selamat. Kita semua sedih bahkan tak percaya, laut yang selama ini menjadi sahabat kita, tiba-tiba menjadi musuh dalam sekejap.   
“Suwun yow mas”; ucapku pada cowok itu. Dia hanya tersenyum, lantas pergi meninggalkanku. Aku tahu musibah ini membuat orang di sekitarku, bahkan aku trauma untuk ke pantai. Anak-anak kecil setiap saat menangis sekencang-kencangnya akan apa yang mereka alami. Semua sedih, keluarga mereka banyak yamg menjadi korban, dan ada juga yang tak jelas keadaanya.
Kesedihan tak selamanya dibayar kesedihan. Di bilik lain kulihat keceriaan. Ternyata cowok itu yang melakukan. Dia mengumpulakn anak-anak untuk bernyanyi, bermain bersama. Kulihat saja mereka. Tapi dari lubuk hati terdalam, Intuisiku mengajak untuk bergabung. Dan ternyata kesedihan ini sedikit terobati. Dia memberikan  senyuman termanisnya padaku, karna mau membantu.
Waktunya menunggu matahari terbit. Aku ingin ke pantai melihat keindahannya yang mungkin tak seindah dulu. Sesampainya di sana, tempat yang biasa ku tempati, telah di tempati seseorang.
“Kesini juga ternyata kamu?” Tanya cowok itu.
“Iya . . .”
Akhirnya kita terlibat perbincangan yang menarik.tentang hobbinya yang juga sama denganku. Dan musibah TSUNAMI yang kita alami.
“Dari tadi kita ngoceh terus, sampai belum kenalan, aku Dirga”.
“Aku Rahmi”.
Matahari telah terbit dan kita kembali ke pengungsian.

Ternyata Dirga punya jiwa social yang tinggi, itu terlihat saat dia jadi sukarelawan disini. Andai Ratna masih ada disini, akan aku ceritakan tentang Dirga padanya. Lamunanku terhenti saat Dirga juga menatap aku.
Hampir setengah tahun setelah bencana itu. Keadaan di kampung mulai pulih. Aku dan Bibi mulai membuka usaha kembali. Kini posisi Ratna kosong. Kita belum punya pengganti Ratna. Nelayan sudah mulai melaut lagi. Anak-anak kecil sudah bermain di pantai seperti dulu. Laut masih menjadi sahabat buat kita. Begitu pula dengan Dirga. Dia kini menjadi sahabatku, mungkin lebih dari sahabat. Aku tak tahu kapan dimulainya. Tapi yang terpenting kita saling melengkapi.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Diberdayakan oleh Blogger.
Powered By Blogger

Pengikut